Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri (Guru MBS At Tanwir Mamuju)
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya.”
Di awal penciptaan, manusia sudah akrab dengan benda-benda. Manusia unik karenanya. Asmaa yang kita terjemahkan sebagai “nama-nama (benda)” diciptakan khusus untuk manusia, bukan jin dan malaikat. Kita tak tahu apa persisnya asmaa bagi Adam. Ada yang mengatakan nama-nama berbagai benda di dunia dan akhirat, ada juga yang mencukupkannya sebagai ilmu. Malaikat sujud bukan kepada Adam yang diciptakan dari tanah, melainkan kepada Adam yang di dalam dirinya terkandung “nama-nama” yang diajarkan Tuhan. Kalau ditelaah lebih mendalam, malaikat bersujud karena tunduk patuh pada perintah Allah swt.
Kejadian di masa silam dan alam berbeda itu menegaskan perbedaan interaksi manusia dan malaikat dengan benda-benda. Dalam Qs. Al Qadr ayat keempat, Ia berfirman: “Pada malam itu turun para malaikat dan roh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.” Segala sesuatu berada dalam pengaturan-Nya melalui para malaikat. Buah apel jatuh ke bawah, matahari terbit dan tenggelam, manusia lahir lalu mati, termasuk dalam “pekerjaan” para malaikat. Dalam surat lain Ia berfirman: “Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya.” Para ulama menyebutnya sebagai sunnatullah.
Dari dua ayat tadi ditambah pengalaman kita dalam menjalani kehidupan, semakin terang perbedaan posisi benda-benda bagi manusia dan malaikat. Jika manusia menanam pohon, menyiramnya dan memberi pupuk, malaikat bertugas memastikan terjadinya berbagai proses biologis dan kimiawi dalam pertumbuhannya, sesuai dengan pengaturan Allah. Meski tak memiliki peran berarti dalam proses yang lebih kompleks itu, manusia mampu mengolah pohon itu jadi apa saja. Asmaa yang diajarkan Tuhan kepada manusia mencipta banyak kemungkinan pengolahan pohon. Kita tahu buah untuk dimakan, batang untuk dibuat rumah, daun dibuat obat, dan lain-lainnya. Ini baru pohon, belum yang lain.
Benda-benda turut hadir dalam biografi kita. Sebagai arus pemikiran yang melingkupi kita, interaksi dengan benda-benda menciptakan “nama-nama” baru seperti empirisme, materialisme, konsumerisme, hedonisme, modernisme, bahkan asketisme. Yang terakhir ini dekat dengan hidup zuhud dan sederhana. Jika kita tak berhati-hati, kita bisa saja merugi karena benda-benda yang kita miliki. Saya tidak akan membahas “nama-nama” tadi dalam kesempatan ini. Saya lebih tertarik untuk menyampaikan keunikan hubungan manusia beriman dengan benda-benda.
Sewaktu kecil, kita selalu disuruh orang tua atau guru agama untuk menghafal doa-doa harian. Di antaranya doa hendak tidur dan bangun tidur, doa memulai dan mengakhiri makan, doa naik kendaraan, dia berpakaian, doa masuk-keluar kamar mandi, dan masih banyak lagi. Jika tak mampu menghafal semuanya, kita boleh mencukupkan dengan membaca basmalah. Menyebut nama Allah haruslah selalu mengawali segala aktifitas kita. Artinya, setiap perbuatan kita sebagai manusia harus dalam kondisi sadar. Dan kesadaran itu senantiasa diasosiasikan kepada Tuhan.
Ketika hendak makan, raga kita menghadapi piring nasi dan lauk pauknya. Doa lalu menghubungkan kesadaran dan ingatan kita bahwa benda-benda itu ada atas izin-Nya. Sepiring nasi itu ialah rezeki dari-Nya. Kita bersyukur atas pemberian-Nya. Begitu juga yang terjadi dengan doa-doa lainnya. Sebab, sejak bangun tidur hingga tidur lagi, kita bersama benda-benda. Kalau begitu, bukankah masuk kamar mandi juga termasuk dzikrullah?
Dalam sebuah riwayat yang sudah akrab di telinga kita, ialah yang berbunyi: “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” Gangguan ini bisa berupa duri, batu, beling, ranting pohon, atau sampah. Kali ini kita diingatkan memungut batu yang dikhawatirkan akan mengganggu di tengah jalan juga bagian dari iman. Lalu bagaimana kalau kita melakukan yang sebaliknya: meletakkan gangguan di jalan. Bukankah yang demikian itu kebalikan dari iman?
Jika sebelumnya benda-benda mengingatkan kita pada Tuhan, sekarang benda-benda itu mengingatkan kita pada sesama manusia dan alam. Kita membuang sampah pada tempatnya atau menyiram kloset kamar mandi setelah digunakan, tak lain agar tidak mengganggu pandangan dan penciuman diri sendiri dan orang lain. Kalau kita semua secara kolektif melakukan yang demikian, kita tak perlu poster bertuliskan “buang sampah pada tempatnya” dan “siram setelah digunakan” untuk menjaga kebersihan. Menciptakan lingkungan yang bersih menjadi hal yang mudah dan murah.
Dua contoh tadi semoga dapat memperluas wawasan kita mengenai “benda-benda” yang ada di sekitar kita. Yang perlu ditambahkan dalam pikiran kita setelah hubungan dengan Allah, manusia, dan alam, ialah hubungan dengan “benda-benda”. Karena kita semua tahu, segala perbuatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.