Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri (Guru MBS At Tanwir Mamuju)
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kami, agar kami bertaqwa.” (II: 21).
Kita mengaku sejak mulanya diciptakan Tuhan sebagai manusia, bukan hewan hasil evolusi jutaan tahun lamanya. Tuhan mengabarkan dengan jelas kalau Adam-lah leluhur kita. Tak perlu mencari tahu siapa yang lebih tua: Adam atau Homo Sapiens.
Manusia yang jumlahnya miliaran hari ini berawal dari rahim seorang Hawa. Kabli dan Habil, keturunan pertama leluhur kita, lahir ke alam dunia dalam keadaan kecil, lemah, rentan, dan tak berdaya. Mereka tak membawa apa-apa selain yang dipinjamkan penciptanya: ruh dan raga. Dari keduanyalah manusia memiliki berbagai potensi untuk menjalani kehidupan. Mencapai kondisi ideal agar dapat menggunakan berbagai potensi itu, Kabil dan Habil harus melalui tahun-tahun yang panjang dalam pengasuhan dan perlindungan Adam dan Hawa.
Kondisi yang sama juga kita alami sebagai manusia yang hidup di zaman modern (sekaligus posmodern). Berbekal “barang” pinjaman tadi, kita menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dengan leluhur kita. Hari ini, manusia (modern) yang tak cukup dengan “hidup”, mengusahakan berbagai cara untuk “menikmati hidup”. Manusia “butuh” gelar, jabatan, dan harta benda. Tersematlah dalam dirinya berbagai status sosial, ekonomi, politik, ideologi, hingga agama. Kesemuanya menjadi satu ke dalam diri manusia-manusia bernama buruh, guru, polisi, arsitek, kepala bidang, direktur, tukang, hingga presiden.
Sayangnya, terlalu ingat dan peduli pada jabatan, kekayaan, dan kehormatan, membuat banyak yang melupakan ke-manusia-annya. Lebih penting menjadi kepala ini daripada menjadi manusia. Lebih nikmat sebagai ketua itu daripada sebagai manusia. Lebih ingat dirinya direktur anu daripada dirinya manusia. Padahal Emha Ainun Nadjib mengatakan yang hakiki itu “apanya”, bukan “siapanya”. Manusia itulah yang sejati, sedang identitas yang lain-lainnya semu belaka.
Dalam keadaan inilah Tuhan selalu mengingatkan kalau manusia diciptakan sebagai manusia. Semua manusia di dunia dulu, sekarang, dan nanti adalah ciptaan-Nya. Dikirim ke dunia untuk menjadi khalifah dalam bentuk manusia dan diciptakan menjadi ‘abdun juga dalam bentuk manusia. Kembalinya ke hadapan Sang Pencipta kelak juga sebagai manusia. Perannya di muka bumi selama hidupnya –yang kita sebut sebagai “siapanya”– itulah yang kelak akan memberatkan pertanggungjawabannya sebagai manusia di hadapan Tuhan. Timbangan-Nya itulah yang akan menentukan kita termasuk yang beruntung atau merugi. Wallahu a’lam.