Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri (Guru MBS At-Tanwir Mamuju)
“Apakah kamu mendirikan istana-istana pada setiap tanah yang tinggi untuk kemegahan tanpa ditempati, dan kamu membuat benteng-benteng dengan harapan kamu hidup kekal?” (XXVI: 128-129).
Sejarah itu kisah (di atas) tanah. Dulu sekali yang tak tahu kapan, Tuhan menciptakan manusia dari tanah liat (lumpur hitam). “Kun”-Nya berkuasa atas segala hal. Nafas-Nya yang suci mengalir dalam benda kotor itu. Yang mati, lalu hidup.
Kejadian manusia selanjutnya tak berhak mendapat kemuliaan Adam. Tak usah gusar atau sedih. Sebab lahir dari rahim Hawa itu pun kemuliaan. Mereka dan keturunannya dikirim ke alam dunia membawa misi: khalifah dan abdun. Kasih sayang-Nya tumbuh subur di muka bumi.
Tanah itu saksi kehinaan. Tuhan memberitakan kepada kita betapa tipis pembeda kemuliaan dan kehinaan. Manusia diberi kemampuan mengingat, namun sering memilih melupa. Yang harus selalu diingat: Allah Yang Maha Mulia. Kita manusia tak lebih dari lumpur hitam yang diberi seatom kemuliaan-Nya. Beberapa manusia justru ingin lupa dan menganggap dirinya sebagai pemilik kemuliaan.
Kita belajar dari Firaun. Keterangan diberikan Marvin Perry dalam Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno sampai Zaman Pencerahan (2012): “Orang-orang Mesir percaya bahwa sang Firaun adalah seorang manusia dan juga dewa, penjelmaan dewa Horus” [h.18]. Meski tak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan, kita tahu mereka sepakat Firaun tetap mulia dalam jasad tak bernyawa. Makamnya berupa bangunan besar menjulang tinggi ke atas, menolak masuk ke dalam tanah. Dataran di sekelilingnya diratakan makam-makam ratusan atau bahkan ribuan budak rendahan. Keajaiban dunia bernama Piramida itu tak lebih dari simbol kejahatan dunia dan keangkuhan manusia.
Setelah mata terbuka melihat kepalsuan Piramida, pejamkan sejenak, lalu buka lagi untuk menatap tumpukan batu yang sejati bernama Ka’bah. Yang terakhir ini jelas tak semegah dan sebesar yang pertama. Ali Syariati dalam Haji (1983) berkata: “Yang engkau saksikan hanyalah sebuah ruangan persegi yang kosong” [h. 25]. Jutaan manusia setiap tahunnya berbondong-bondong datang ke kekosongan! Alih-alih kecewa, mereka justru bergembira. Syariati melanjutkan: “Selanjutnya kekosongan ini adalah sebagai petunjuk arah” [h. 26]. Kubus sederhana ini tak menunjuk ke mana-mana, tapi mampu menjadi petunjuk arah kepada orang-orang yang beriman.
Mendatangi “ruang kosong” tak melulu ke Mekkah. Sebagai rangkaian peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78 yang bertepatan pada 17 Agustus 2023, kita menyaksikan anak-anak sekolahan mengadakan kegiatan perkemahan. Mereka segera mendapati tidur beralas tanah dan bebatuan, beratap langit dan bintang-gemintang. Setelah berbulan-bulan kaki menginjak keramik dan semen, hari ini anak-anak kembali ke tanah dan rerumputan. Mereka merayakan perjuangan walau cuma sedikit dan sejenak.
Perkemahan pernah juga dialami seorang remaja bernama Soedirman. Ia aktif di Hizbul Wathan. Pernah Soedirman ikut Jambore Hizbul Wathan di kawasan lereng pegunungan Dieng, Wonosobo. Kita menemukan sedikit pengalamannya di buku Pendidikan Kemuhammadiyahan SMP/MTs Muhammadiyah Kelas 7 (2019) halaman 58: “Ia menyampaikan kepada temannya: ‘inilah latihan untuk di kemudian hari, boleh jadi kelak kita akan mengalami cuaca yang lebih dingin dari sekarang’.” Perkataannya saat itu ikut berperan dalam pembentukan dirinya bertahun-tahun berikutnya sampai kita mengenalnya sebagai Jenderal Soedirman.
Dalam kadar tertentu, peristiwa haji dan kemah adalah peristiwa kolektif. Namun, bersamaan dengannya manusia berhadapan dengan dirinya masing-masing sebagai individu. “Rumah” Allah tak cuma Ka’bah, namun seluruh alam semesta. Ia berfirman: “Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (II: 115). Maka yang terpenting bukanlah ke apa atau mana mereka menghadap, tapi jiwa dan raganya yang sedang “menghadap”. Perkataan Soedirman muda tadi menegaskan perkemahan itu bukan tentang mendirikan tenda dan api unggun, melainkan mendirikan manusia-manusianya.
Hari ini, kita menyaksikan anak-anak MBS At-Tanwir Mamuju mengenakan seragam Hizbul Wathan, beramai-ramai menuju bukit kampus 2 Universitas Muhammadiyah Mamuju. Kita berharap tiga hari (16-18 Agustus 2023) cukup untuk memampukan mereka “menghadap” kepada-Nya, bukan kepada benda-benda buatan orang dewasa. Selamat berkemah!